Mengasah Anak Menjadi Manusia Berkarakter

“Papa ingin aku jadi orang macam apa nanti?” tanya anak saya ketika ia berusia 13 tahun.
Waktu itu kami sedang duduk nonton televisi di ruang keluarga dan menyaksikan kisah sejumlah tokoh besar yang membangun Amerika Serikat. Ada John Davison Rockefeller (1839-1937), Andrew Carnegie (1835-1919), Henry Ford (1863-1947), John Pierpont Morgan (1837-1913), Cornelius Vandebitt (1794-1877), dan Henry Clay Frick (1849-1919). Itulah nama-nama besar industrialis di bidang perminyakan, baja, otomotif, keuangan dan perbankan, perkapalan dan perkereta-apian, dan sebagainya, yang membuat Amerika dikenal sebagai negara super power pada abad ke-20 silam.

“Papa ingin aku jadi orang macam apa nanti?” adalah pertanyaan sederhana yang—ketika ditanyakan kepada saya—tidak bisa saya jawab dengan cepat. Sebab, bagi saya, itu pertanyaan penting. Pertanyaan yang tidak boleh dijawab sembarangan. Celakanya, saya sungguh sedang tidak siap menghadapi pertanyaan sepenting itu. Ia ditanyakan spontan dan tak terduga. Ibarat ujian, ini adalah ujian mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ibarat ilmu bicara, ini adalah jenis impromptu speech, diminta berbicara tanpa persiapan khusus.

“Papa ingin kamu menjadi orang yang taat kepada Tuhan, mencari pimpinan Tuhan dalam seluruh aspek kehidupanmu,” jawab saya sambil terus berusaha menemukan jawaban yang lebih baik. “Papa ingin kamu lebih percaya kepada Tuhan ketimbang percaya pada dirimu sendiri atau pada apa dan siapa pun; Papa ingin kamu hidup berdasarkan kebenaran Firman Tuhan, mengenal dan memuliakan Tuhan lewat hidup dan pekerjaanmu,” sambung saya, mencoba melengkapi jawaban yang masih terasa mengambang itu. “Dan Papa ingin kamu menjadi orang yang berkarakter,” tandas saya seakan menemukan sesuatu yang makin jelas.

Ketika kata “berkarakter” terucapkan, pikiran saya melayang pada sebuah rekaman ceramah DR. Stephen Tong yang saya dengar berulang-ulang, bertahun-tahun silam. Saya ingat bahwa dosen ilmu filsafat dan teologi yang brilian itu pernah mengutip konsep orang yang berkarakter alias gentlement yang layak dihormati, sebagaimana dijelaskan oleh Mencius, "orang suci" kedua di Tiongkok setelah Confusius.



Definisi Karakter
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.

Dikatakan, sedikitnya ada tiga kelompok manusia berkarakter.

Pertama, orang yang dengan kekayaan berlimpah tapi tetap teguh memegang hukum-hukum moral, itulah orang berkarakter. Orang kaya yang suka kawin-cerai, punya perempuan simpanan dan gemar melakukan hal-hal yang melanggar moralitas bukanlah orang berkarakter. Orang kaya yang suka menipu dan memanipulasi orang lain untuk menambah kekayaannya, bukanlah orang berkarakter. Dengan lain perkataan, orang kaya yang tidak berkarakter tidak pantas menerima hormat dari orang lain.

Kelompok kedua, orang yang miskin tetapi berpendirian teguh, berani memegang kebenaran, itulah orang berkarakter. Kalau kemiskinan membuat orang menjadi maling, perampok, rajin korupsi, itu orang miskin yang hina. Kalau kemiskinan dijadikan alasan untuk melacurkan diri, itu bukan orang berkarakter. Kalau orang bersedia melakukan apa saja demi uang, demi melepaskan diri dari kemiskinan, dan tanpa ragu melanggar moralitas dan hukum, maka ia tidak pantas di hormati karena tidak berkarakter. Orang miskin yang “goyang ekor” untuk menyenangkan hati orang kaya, agar ia diberi “tulang” sudah pasti bukan orang berkarakter.

Kelompok ketiga, orang yang tidak bisa dikalahkan oleh kekuatan militer sekali pun ia tidak memiliki senjata kecuali dirinya sendiri, itulah orang berkarakter. Inilah orang-orang yang tidak mudah tunduk oleh berbagai tekanan penguasa, tidak tergoyahkan oleh kuasa politik yang tak bermoral. Orang-orang yang berani dan gigih memperjuangkan kepentingan-kepentingan mayoritas, meski pun ia termasuk kelompok minoritas secara jumlah dan kekuatan, adalah manusia berkarakter.

“Contohnya seperti siapa, Pa? Ada nggak ya Papa tahu orangnya?” tanya anak saya setelah mendengarkan penjelasan tentang tiga model orang berkarakter di atas.

“Contohnya memang tidak banyak, Nak,” jawab saya. “Orang kaya yang berkarakter yang sempat Papa tahu adalah William Soerjadjaya, pendiri Astra International. Orang yang biasa dipanggil Om William itu adalah contoh pebisnis yang berkarakter. Kekayaannya tidak membuatnya lupa diri. Sepanjang hidupnya ia memegang teguh prinsip-prinsip kebenaran yang diyakininya. Ia bahkan rela kehilangan kepemilikannya di Astra untuk teguh pada prinsip hidupnya yang menjunjung tinggi etika dan moralitas".

Bunda Teresa (1910-1997) pendiri Ordo Cinta Kasih dari Kalkuta, India, bisa disebut sebagai wakil dari sosok orang miskin yang berkarakter. Di dalam komitmen yang besar untuk hidup miskin dan melayani mereka yang miskin dan menderita, Bunda Teresa telah menginspirasi dunia. Ia mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1989.

Sementara untuk mewakili kelompok orang yang tidak bisa dikalahkan oleh kekuasaan politik-militer, bisa kita sebut sejumlah nama seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) di India, Martin Luther King Jr (1929-1968) di Amerika, Dalai Lama dari Tibet (1935-...), Nelson Mandela (1918-...) di Afrika Selatan, sampai Aung San Suu Kyi (1945-...) di Myanmar. Mereka adalah para pemenang Nobel Perdamaian yang umumnya melawan regim penguasa politik dengan gerakan anti-kekerasan. Kekuatan karakter mereka diuji belasan hingga puluhan tahun. mereka melewati berbagai penderitaan, disiksa, diasingkan, di penjara, jadi tahanan rumah, dan semuanya tanpa proses hukum yang adil. Semakin mereka ditindas, semakin semerbak wangi karakter mereka menyebar ke seantero bumi,” demikian saya mencoba memaparkan panjang lebar.

“Wah, jadi orang berkarakter nggak gampang ya Pa,” ujar anak saya.

“Iya, Nak. Memang tidak pernah gampang. Sebab karakter hanya bisa dibangun lewat ujian, lewat kesulitan, melalui penderitaan. Ia tidak bisa dibangun dalam kemanjaan dan kehidupan yang serba mudah. Ia tidak bisa dibentuk hanya dengan membaca atau ikut sekolah formal semata. Tetapi sesungguhnya itulah tujuan pendidikan yang sejati. Tujuan pendidikan bukanlah membuat orang jadi kaya-berkuasa-terkenal, melainkan menjadi manusia berkarakter, manusia yang mulia, manusia yang manusiawi,” tanggap saya bersemangat.

“Iya Pa. Tapi aku ngantuk nih. Aku mau bobo dulu ya.”

Saya memeluk anak saya dan mengantarnya ke kamar tidur. Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah ia mengerti apa yang saya sampaikan? Saya tidak tahu. Namun untuk membuat saya tidak melupakan percakapan yang semacam itu, maka saya menulis catatan ini. Catatan sederhana yang mengingatkan saya juga mengenai arah kehidupan yang saya pilih: berjuang menjadi manusia berkarakter.

Anda juga, bukan?

Sumber : andriewongso.com
Mengasah Anak Menjadi Manusia Berkarakter Mengasah Anak Menjadi Manusia Berkarakter Reviewed by Unknown on 11/24/2016 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.